Tuhan selalu kaya dengan cara-cara yang tidak kita bayangkan untuk menyentuh hati dan membentuk diri melalui berbagai situasi hidup. Itulah yang saya rasakan sepanjang hidup merantau di Singapura sejak kurang lebih 8 tahun yang lalu.
Kami menikah sekitar 24 tahun yang lalu dalam latar belakang keluarga sederhana. Kami dulu percaya bahwa pendidikan yang baik adalah warisan terbaik yang bisa kami berikan kepada anak-anak kami. Semangat itulah yang membuat kami bermimpi untuk bisa membawa keluarga kami ke negara lain. Harapannya agar anak-anak bisa mendapat pendidikan yang jauh lebih baik dari yang kami dapatkan, dan punya outlook yang lebih berwarna dalam hidup. Dan Tuhan mengijinkan hal itu terjadi di akhir 2013 ketika kami sekeluarga sampai di SG untuk bekerja dan bersekolah.
Namun, Tuhan sungguh lebih menyayangi kami jauh melebihi mimpi-mimpi kami di awal. Tidak hanya kesempatan pendidikan yang kami dapatkan, namun terlebih pembentukan Tuhan secara pribadi juga nyata melalui setiap pergumulan yang datang silih berganti. Hal-hal yang paling kuat dinyatakan adalah tema perpisahan, kebergantungan dan pemulihan relasi.
Dalam tahun pertama kami di SG, kami dihadapkan pada realita pekerjaan suami yang harus ditempatkan di Malaysia. Walaupun pakai pesawat hanya 1 jam dari SG, namun relasi 'weekend gathering' ternyata menjadi platform kondisi keluarga kami di tahun-tahun selanjutnya. Setelah transisi tersebut, ada masa-masa bergumul mencari pekerjaan baru dan kemudian ditempatkan di Jakarta.
Dulu kami berpikir: “ah tidak masalah toh tiap akhir minggu bertemu. Toh banyak keluarga yang menjalaninya juga.” Tetapi ternyata dalam realita, hal tersebut berdampak lebih dalam dari yang kami bayangkan. Manusia punya keterbatasan dalam melihat potensi-potensi masalah yang bisa terjadi ketika mengambil sebuah keputusan. Itupun yang terjadi pada kami berdua. Gangguan komunikasi banyak sekali terjadi. Akhir minggu banyak gap yang mesti kami kerjakan dan kami berdua ternyata merasakan lelah untuk terus-menerus menyambung setiap jembatan komunikasi yang harus dijaga dengan baik. Kami kehilangan waktu sehari-hari dalam percakapan sederhana, candaan yang 'gak penting' ataupun aktivitas-aktivitas kecil bersama keluarga. Hal itu seperti menjadi longing sekaligus hal yang sulit kami lakukan ketika bertemu di weekend karena kelelahan masing-masing. Kami jadi makin sering berkonflik, dan yang lebih menyedihkan adalah rasa lelah yang makin memuncak untuk bisa benar-benar berbicara. Kami merasa tidak punya energi yang cukup untuk bisa saling mendengar dan merasa makin sulit mengasihi satu sama lain.
Konflik batin lainnya adalah ketika kami makin menyadari bahwa kami sedang menjalani kehidupan yang tidak sesuai dengan value pribadi maupun sebagai keluarga. Dari awal kami selalu mengatakan bahwa apapun yang terjadi, kami harus selalu bersama. Entah karena pekerjaan atau sekolah, kami harus selalu bersama. Itupun yang selalu kami katakan kepada pasangan-pasangan lebih muda di gereja kami dahulu. Namun ternyata, realita hidup di SG, membawa kami dalam situasi dilema yang menyentuh value pribadi kami. Ah Tuhan, ternyata kami sekarang diijinkan berada dalam situasi keberpisahan seperti ini. Bagaimana kami harus menjalani relasi seperti ini?
Kemudian tiba masa pandemi, ketika sejak Maret 2020 sampai saat ini, saya hanya bisa berjumpa dengan suami lewat video call setiap malam (thanks to WhatsApp!). Yang sebelumnya hanya bertemu di akhir minggu, saat ini kami benar-benar tidak bisa bertemu. Dalam masa-masa krisis seperti inilah, Tuhan menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kami berdua. Sejak Desember 2020, kami berdua menyediakan diri mengikuti couple counselling. Kami diajak belajar untuk berani mengungkapkan apa yang selama ini mungkin disimpan dalam-dalam karena menghindari konflik atau terlewatkan begitu saja namun ternyata menjadi kerikil-kerikil komunikasi di kemudian hari, belajar mendengar dengan hati - tidak hanya dengan telinga (dan ini sungguh tidak mudah!). Perlahan kami merasakan ada harapan bahwa relasi kami bisa diperjuangkan; bahwa kasih itu harus terus menerus dipupuk di dalam kelekatan relasi dengan Tuhan; dan belajar untuk melihat ada narasi yang lebih besar dari tema cerita kami berdua. Memang saat ini kami merasakan keberpisahan fisik dan itu menyakitkan, namun di dalam itu semua kami meyakini bahwa Tuhan sedang mengerjakan kualitas-kualitas lain yang perlu kami miliki sebagai pribadi maupun pasangan: penerimaan akan keterbatasan, kesabaran menanggung segala sesuatu, dan keberserahan pada kedaulatan Tuhan.
Tuhan paling mengerti kondisi kami dan Tuhan menyediakan segala sesuatu yang kami perlukan dalam waktu-Nya dan melalui cara-Nya.
Menantikan saat-saat dimana vaksin sudah semakin merata, border perlahan dibuka. Menantikan masa sekolah yang akan berakhir di akhir tahun 2021 (God willing!), dan anak-anak kami, Asa dan Daniel, semakin siap untuk hidup mandiri dimanapun Tuhan tempatkan. Menantikan saat dimana kami berdua bisa bersama-sama sehati sepikiran untuk melakukan pekerjaan di ladang yang sudah dipersiapkan-Nya, baik secara pribadi maupun kami sebagai pasangan. Dalam masa-masa pergumulan, Roma 8:38-39 banyak berbicara menguatkan dan menghibur saya. Apapun bisa terjadi selama hidup yang sementara ini, namun hal itu tidak akan memisahkan diri ini dengan Kasih Bapa, di dalam Tuhan Yesus Kristus. Amin.
Saya mengalami konflik luar biasa yang semula hanya bisa saya simpan sendiri. Keterpisahan saya dengan keluarga sejak akhir Februari 2020 (hampir setahun) membuat saya tidak bisa menghidupi nilai-nilai yang saya yakini bahwa sebuah keluarga haruslah bersatu, sebagaimana tertulis di dalam Matius 19:5, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.”
Selama 5 (lima) tahun sebelumnya, saya juga gemetar ketika saya harus menyebut diri saya sebagai “weekend-father” karena tugas pekerjaan di Malaysia dan Jakarta. Kini, meski sebutan itu berubah, tetapi bukanlah perubahan yang lebih baik. Saya menjadi “suami dan ayah virtual” karena jangankan berkumpul, terbang kembali ke Singapore setiap Jumat pun tidak bisa saya lakukan lagi.
Doa-doa kami seolah tidak terjawab. Kami terus berusaha mendengar apa maksud Tuhan di balik ini semua. Terlebih di bulan Juni 2020 kontrak saya dengan perusahaan di Jakarta selesai, saya berharap bisa kembali berkumpul di Singapore.
Hari demi hari, selama hampir 365 hari, kami kehilangan kebersamaan di hari-hari istimewa kami, ulang tahun Niken di bulan Agustus, ulang tahun Asa di bulan September, ulang tahun perkawinan kami di bulan Desember, ulang tahun saya di bulan Januari … dan yang paling menyedihkan saya sebagai ayah tidak bisa hadir ketika Daniel mengaku percaya Desember lalu. Saya hanya bisa melihat layar Zoom dengan keyboard yang basah dengan tetesan air mata… Bulan Februari ini pun saya melewatkan hari istimewa ulang tahun Daniel serta tidak bisa bersama-sama ketika dia menghadapi O level tahun ini.
Namun demikian, dibalik semua yang Tuhan ijinkan itu, kami sadar bahwa kami diberikan banyak kesempatan untuk “mendengar” lebih banyak lagi. Saya dan Niken sepakat untuk mengikuti couple-counselling, sebagai bentuk perjuangan kami untuk tetap mendengar-Nya, menghidupi nilai-nilai dan juga panggilan Tuhan dalam hidup berkeluarga. Puji Tuhan kami ditolong dan justru diberikan kesempatan untuk semakin dekat. Kami juga dipimpin untuk melayani di berbagai tempat, Tuhan juga memberikan “manna” dan “tiang-awan” kepada keluarga kami, kami diberkati dengan berkat baru setiap hari, meski saya tidak bekerja secara tetap saat ini. Secara pribadi, meski saya sendirian di Jakarta, saya mendapatkan client coaching yang justru memberikan saya pribadi insight baru. Tuhan mengirimkan berbagai jenis orang dan kejadian dalam kesendirian saya, karena Tuhan justru sedang bekerja melalui mereka. Tuhan hanya meminta saya untuk sungguh-sungguh mendengar, karena jawaban doa saya ada ketika saya mendengar-Nya lebih dan lebih lagi. Beberapa hari ini saya menyadari dan dibimbing untuk “menerima” keadaan ini dengan penuh syukur karena Tuhan ternyata sedang bekerja melalui situasi kami.
Kami menanti-nantikan akhir tahun ini, bahkan apabila COVID-19 masih belum mereda, karena saya dan Niken akan berkumpul kembali di Jakarta dan memulai sesuatu yang baru dalam hubungan kami, saat di mana Tuhan juga sudah akan menunjukkan apa yang harus kami lakukan untuk melayani-Nya sebagai pribadi dan pasangan yang sudah diperlengkapi. Tuhan menolong. Amin.
Free AI Website Creator